Legal Articles

 

ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM PERJANJIAN PERUSAHAAN: PERSPEKTIF HUKUM

 

I.         PENDAHULUAN

Dalam dunia bisnis, perjanjian perusahaan memiliki peran penting dalam mengatur hubungan hukum antara para pihak yang bersepakat. Salah satu asas fundamental dalam hukum perjanjian adalah asas pacta sunt servanda, yang berarti setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak bersifat mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini menekankan pentingnya kepercayaan dan kepastian hukum dalam setiap kontrak, termasuk perjanjian perusahaan.[1]

 

Artikel ini membahas pengertian asas pacta sunt servanda, implementasinya dalam perjanjian perusahaan, serta konsekuensi hukum apabila asas ini tidak ditaati oleh salah satu pihak.

 

II.      PENGERTIAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA

Asas pacta sunt servanda merupakan prinsip hukum yang telah lama diakui dalam sistem hukum perdata, termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”[2]

Artinya, apabila sebuah perjanjian dibuat berdasarkan persetujuan bebas, tanpa paksaan, sesuai dengan syarat sah perjanjian (Pasal 1320 KUHPer), maka perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan harus dihormati oleh para pihak.[3]

III.   IMPLEMENTASI ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM PERJANJIAN PERUSAHAAN

Perjanjian perusahaan biasanya melibatkan berbagai pihak, seperti perusahaan dengan mitra usaha, investor, pemasok, atau pihak ketiga lainnya. Dalam konteks ini, asas pacta sunt servanda mencakup beberapa elemen utama:

  1. Kepastian Hukum dalam Hubungan Kontraktual

Para pihak yang membuat perjanjian perusahaan harus memahami bahwa setiap klausul yang disepakati menjadi kewajiban hukum. Misalnya, dalam kontrak kerjasama antara perusahaan dan mitra bisnis, kedua belah pihak wajib melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati.[4]

  1. Pelaksanaan Perjanjian dengan Itikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPer menegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam praktik bisnis, itikad baik ini mencakup transparansi, komunikasi yang jelas, serta upaya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan.[5]

  1. Penerapan dalam Perjanjian Jangka Panjang

Dalam kontrak-kontrak bisnis jangka panjang, seperti kontrak investasi atau kerjasama strategis, asas pacta sunt servanda memberikan dasar hukum untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat tetap mematuhi kewajibannya meskipun terdapat perubahan situasi bisnis.[6]

 

IV.   KONSEKUENSI HUKUM PELANGGARAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA

Apabila salah satu pihak dalam perjanjian perusahaan gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi), maka terdapat beberapa konsekuensi hukum, yaitu:

  1. Ganti Rugi

Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 KUHPer, yaitu kerugian akibat kelalaian atau kegagalan memenuhi perjanjian.[7]

  1. Pembatalan Perjanjian

Perjanjian dapat dibatalkan apabila salah satu pihak melanggar ketentuan utama dalam kontrak, atau apabila terdapat unsur cacat dalam kesepakatan, seperti penipuan atau pemaksaan.[8]

  1. Eksekusi Kontrak

Pengadilan dapat memerintahkan eksekusi atas perjanjian sesuai dengan klausul dalam kontrak, terutama jika kontrak mencantumkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau pengadilan.[9]

 

V.      PENGECUALIAN TERHADAP ASAS PACTA SUNT SERVANDA

Meskipun asas ini bersifat mengikat, terdapat pengecualian tertentu, yaitu:

  1. Keadaan Memaksa (Force Majeure)

Jika terjadi keadaan luar biasa yang tidak dapat diprediksi atau dihindari (seperti bencana alam atau krisis ekonomi global), pihak yang terkena dampak dapat dibebaskan dari kewajiban berdasarkan kontrak.

  1. Perjanjian Bertentangan dengan Hukum atau Kepentingan Umum

Pasal 1337 KUHPer menyatakan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, moral, atau ketertiban umum tidak memiliki kekuatan hukum. Contohnya adalah perjanjian yang melibatkan tindakan ilegal.

 

 

VI.        KESIMPULAN

Asas pacta sunt servanda adalah landasan utama dalam setiap perjanjian, termasuk perjanjian perusahaan. Prinsip ini memberikan kepastian hukum dan memastikan bahwa para pihak mematuhi kesepakatan yang telah dibuat. Namun, penerapannya memerlukan komitmen dari semua pihak untuk menjalankan perjanjian dengan itikad baik dan menghormati hak serta kewajiban masing-masing.

 

Untuk memastikan kelangsungan hubungan bisnis yang sehat, perusahaan perlu memformulasikan perjanjian secara jelas, mencantumkan klausul force majeure, dan menjaga fleksibilitas dalam menghadapi perubahan situasi bisnis. Dengan demikian, asas pacta sunt servanda dapat diimplementasikan secara optimal dan mendukung keberlanjutan hubungan bisnis yang saling menguntungkan.

 

 

SARAN

Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa saran yang relevan terkait implementasi asas pacta sunt servanda dalam perjanjian perusahaan adalah sebagai berikut:

1.      Perjanjian yang Disusun dengan Rinci dan Komprehensif

Para pihak harus memastikan bahwa perjanjian perusahaan disusun dengan klausul yang jelas, mencakup hak dan kewajiban secara detail, serta mencantumkan mekanisme penyelesaian sengketa untuk mencegah interpretasi yang berbeda di kemudian hari.

2.      Peningkatan Kesadaran Hukum Para Pihak

Sebelum menyepakati perjanjian, penting bagi para pihak untuk memahami isi dan konsekuensi hukum dari setiap klausul yang tercantum. Konsultasi dengan ahli hukum perusahaan atau advokat dapat membantu memastikan kesesuaian dengan hukum yang berlaku.

3.      Pencantuman Klausul Force Majeure

Mengingat ketidakpastian dalam dunia bisnis, perjanjian perusahaan sebaiknya mencantumkan klausul force majeure untuk melindungi para pihak dari konsekuensi yang timbul akibat keadaan yang berada di luar kendali.

4.      Pemeriksaan Ulang Perjanjian Secara Berkala

Dalam perjanjian jangka panjang, disarankan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap isi perjanjian untuk memastikan kesesuaiannya dengan perkembangan bisnis dan regulasi yang berlaku.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Sutarman, Hukum Perjanjian dalam Perspektif Bisnis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2018, hal. 15

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2009, hal. 23

Sutarno, Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017, hal. 30

Mariam Darus Badrulzaman, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung: Alumni, 2019, hal. 45

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2020, hal. 50

Mulyoto, Hukum Bisnis dan Perjanjian Komersial, Yogyakarta: Deepublish, 2021, hal. 65

Pasal 1243 KUHPer, dikutip dari Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2009, hal. 80

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2020, hal. 85

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016, hal. 90



[1] Sutarman, Hukum Perjanjian dalam Perspektif Bisnis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2018, hal. 15

[2] Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2009, hal. 23

[3] Sutarno, Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017, hal. 30

[4] Mariam Darus Badrulzaman, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung: Alumni, 2019, hal. 45

[5] Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2020, hal. 50

[6] Mulyoto, Hukum Bisnis dan Perjanjian Komersial, Yogyakarta: Deepublish, 2021, hal. 65

[7] Pasal 1243 KUHPer, dikutip dari Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2009, hal. 80

[8] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2020, hal. 85

[9] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016, hal. 90

Comments

Popular Posts